VIVAnews - Federal Reserve membuat keputusan
mengejutkan di pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada
17-18 September 2013. Bank sentral Amerika Serikat itu batal memangkas
program stimulus moneternya.
Dalam pertemuan itu, Gubernur The Fed, Ben Bernanke, memutuskan
untuk tetap melanjutkan pembelian surat berharga sebesar US$85 miliar
per bulan. Padahal, sejumlah analis berharap bank sentral dapat
mengurangi program stimulus moneter hanya sekitar US$10-20 miliar untuk
pembelian surat berharga, dan jangan terlalu drastis.
Seperti diketahui, ketidakjelasan rencana bank sentral AS terhadap
pengurangan atau pelambatan pelonggaran moneternya dalam beberapa
bulan terakhir telah mengakibatkan keluarnya aliran dana dari
negara-negara emerging markets. Di antara negara-negara tersebut India dan Indonesia merupakan negara yang mengalami kejatuhan kurs terdalam.
Kurs rupiah bahkan sempat jatuh menembus level Rp12.000/US$. Kini
setelah bank sentral AS tetap melonggarkan moneternya dengan
menginjeksi US$85 miliar dolar ke pasar maka kekahawatiran pelaku pasar
pupus sudah.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan Indeks Harga Saham Gabungan
langsung menguat pada Kamis, 19 September 2012. Berdasarkan data
Bursa Efek Indonesia, saat dibuka pagi hari, IHSG langsung menguat
113,31 poin atau 2,53 persen ke level 4.576,57.
Pada penutupan transaksi, IHSG terangkat hingga 207,47 poin atau
4,64 persen ke level 4.670,73. Indeks sempat menembus level tertinggi
4.791,76 dan terendah di posisi 4.576,57. Sementara Sementara itu,
nilai tukar rupiah menguat tajam 469 poin (4,14 persen) menjadi
Rp10.855 per dolar AS.
Menteri Keuangan, M Chatib Basri, menegaskan, meskipun, ada angin
segar yang berhembus dari bank sentral Amerika Serikat yang menunda
pengurangan stimulus moneternya. pemerintah tetap mewaspadai tekanan
ekonomi global.
Saat ditemui di Nusa Dua, Bali, Kamis 19 September 2013, Chatib
menyambut baik keputusan penundaan pengurangan stimulus tersebut.
Keputusan tersebut disambut positif pasar keuangan global, termasuk di
Indonesia. "Saham naik tinggi sekali, lebih dari 200 poin. Yield
SUN itu sekarang sudah di bawah 8 persen. Ini memang pertanda baik
sekali, artinya tekanan terhadap nilai tukar mereda," ujarnya.
Di bursa saham, volume perdagangan mencapai 19,8 juta lot senilai
Rp12,2 triliun dengan frekuensi 287 ribu kali. Sebanyak 270 saham
menguat, 60 melemah, dan 70 saham stagnan. Seluruh indeks saham
sektoral menguat dengan kenaikan tertinggi di bidang properti, yang
naik 9,18 persen. Disusul indeks saham sektor keuangan yang menguat
6,31 persen dan industri dasar 5,5 persen.
Analis PT Panin Sekuritas Tbk, Purwoko Sartono, mengatakan, IHSG naik signifikan didorong oleh keputusan yang mengejutkan dari The Fed. Bank sentral AS itu batal mengurangi stimulus yang sebelumnya diperkirakan mencapai US$10-20 miliar. "The Fed masih menunggu sinyal yang memastikan perbaikan ekonomi saat ini tidak hanya sementara," kata Purwoko.
Analis PT Panin Sekuritas Tbk, Purwoko Sartono, mengatakan, IHSG naik signifikan didorong oleh keputusan yang mengejutkan dari The Fed. Bank sentral AS itu batal mengurangi stimulus yang sebelumnya diperkirakan mencapai US$10-20 miliar. "The Fed masih menunggu sinyal yang memastikan perbaikan ekonomi saat ini tidak hanya sementara," kata Purwoko.
Menurut Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk, Ryan Kiryanto,
jika ekonomi AS membaik, hal tersebut membantu kinerja ekspor Indonesia
dan ujungnya akan memperkuat cadangan devisa serta likuiditas dolar di
Indonesia.
"Jadi, sebenarnya tapering off quantitative easing tidak
akan membuat ekonomi RI bermasalah, karena penyebab ekonomi kita melemah
adalah DTB (defisit transaksi berjalan) dan inflasi tinggi. Tentunya,
jika DTB dipersempit dan inflasi menurun, ada peluang rupiah menguat
karena persepsi pasar membaik terhadap outlook ekonomi RI," tegas Ryan.
Hal senada dikatakan Direktur Bahana TCW Investment Management,
Budi Hikmat. Langkah The Fed akan membawa dampak positif bagi ekonomi
negara berkembang di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Sebab, eksodus
modal dari negara dengan pasar yang sedang berkembang itu bakal
berkurang. "Ini bagus, capital outflow di emerging market bisa mulai mereda."
Sentimen positif pasar, lanjut Budi, akan membuat pergerakan saham
di Indonesia kembali stabil. Dalam jangka panjang, kekhawatiran dan
ekspektasi negatif diharapkan tidak lagi menghantui pasar keuangan
Indonesia.
"Kekhawatiran memang sedikit berkurang. Pagi tadi, indeks saham
kita naik luar biasa. Investor yang mau beli saham di bursa Indonesia
juga mulai terlihat," kata dia.
Namun, menurutnya, untuk nilai tukar rupiah masih mendapat sedikit
tantangan untuk bisa kembali stabil. Kondisi ini disebabkan neraca
perdagangan Indonesia masih terus mengalami defisit, karena kinerja
ekspor tak mampu mengimbangi tingginya impor, terutama di sektor migas.
Ditambah lagi, subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang besar turut
membebani keuangan negara.
"Memang ada apresiasi, sekarang saja rupiah juga sudah lebih
menguat kok. Selanjutnya, tinggal soal besarnya subsidi BBM, ini jadi
tantangan tersendiri bagi rupiah," kata Budi.
Perang Mata Uang
Di pasar uang global, keputusan Federal Reserve membatalkan
pemotongan program stimulus moneternya ternyata menimbulkan "masalah"
lain.
Keputusan tersebut dikhawatirkan dapat menghidupkan kembali wacana
perang mata uang global. Tercatat, mata uang dolar Australia, euro, dan
pound sterling Inggris menguat, setelah munculnya keputusan The Fed itu.
Sementara itu, dolar AS tertekan.
Beberapa analis mengatakan bahwa keputusan Federal Reserve bisa
mendorong bank sentral negara lain untuk mendevaluasi mata uang mereka
dalam upaya mempertahankan keunggulan kompetitif.
"Kami berada di ambang perang mata uang, terutama jika Fed tidak
menerapkan kebijakan pengurangan stimulus pada Oktober atau Desember
mendatang," kata Boris Schlossberg, Managing Director BK Asset
Management, seperti dikutip dari laman CNBC, Kamis 19 September 2013.
Perang mata uang bisa terjadi jika sejumlah negara dengan kekuatan
ekonomi besar bersaing untuk mendevaluasi mata uang mereka. Upaya ini
diharapkan dapat mendorong ekspor dan menjadikan impor lebih mahal.
Negara-negara G10, menurut Schlossberg, harus bereaksi atas
keputusan The Fed itu. Salah satu upaya yang dapat mereka lakukan adalah
mengeluarkan kebijakan yang lebih akomodatif guna meredam gejolak mata
uang global.
Spekulasi atas terjadinya perang mata uang global pertama kali
muncul pada awal tahun ini. Saat itu, secara dramatis, mata uang yen
jatuh.
Pelemahan tajam yen itu kemudian dikritik negara-negara dengan
ekonomi kuat lainnya. Sebab, pelemahan yen dikhawatirkan akan
menempatkan eksportir Jepang dengan marjin keuntungan yang cukup besar.
Namun, keputusan The Fed pada Kamis telah menghidupkan kembali
pembicaraan tentang perang mata uang itu. Kondisi itu terlihat dengan
kejatuhan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama lainnya, dan
mencatat level terendah sejak Februari pada Rabu.
Nilai tukar dolar Australia tercatat menguat dan dihargai US$0,95
di Asia pada Kamis, atau tertinggi sejak pertengahan Juni. Poundsterling
juga melonjak. Mata uang Inggris ini dihargai senilai US$1,61. Level
ini merupakan yang tertinggi sejak Januari. Selanjutnya, euro mencapai
level tertinggi sejak Februari, saat mata uang zona Eropa itu dihargai
US$1,35.
Evan Lucas, ahli strategi pasar di IG, mengatakan bahwa akibat
keputusan The Fed itu, bank sentral Australia diperkirakan kembali
menurunkan suku bunga pada akhir tahun. "Pertanyaan serupa juga akan
ditujukan bagi bank sentral Jepang," kata dia.
"Pelemahan dolar AS akan berdampak pada wacana perlunya stimulus
untuk yen dan ekonomi Jepang. Akankah bank sentral Jepang harus
melakukan intervensi lagi," tambahnya.
Setelah kebijakan The Fed itu, yen menguat menjadi 97,75 per dolar
AS. Namun, kemudian melemah kembali ke kisaran 98,10 per dolar pada
perdagangan di Asia pada Kamis pagi.
Bagaimana dampak perang tersebut, sekiranya benar terjadi, ke pasar uang Indonesia?
Chief Economist Strategy & Performance Management Division PT
Bank Tabungan Negara Tbk, A. Prasetyantoko menilai rupiah tidak akan
terpengaruh dengan adanya ancaman perang mata uang.
Sebab, meskipun nilai ekspor Indonesia menurun saat rupiah menguat,
tetapi penguatannya sekarang ini masih terbilang melemah karena
bercokol di atas Rp11.000 per dolar AS. "Jadi, tidak perlu khawatir,
rupiah tidak mungkin ikut-ikutan perang mata uang," kata dia.
Seandainya Jepang misalnya memilih kembali mendevaluasi mata uang
yen untuk menguatkan ekspornya, Indonesia tidak akan banyak terpengaruh.
Sebab, konsumen kita itu itu masuk kategori pengguna produk-produk
kebutuhan primer (pokok), bukan manufacturing product. "Jadi, seberapa mahal barang, tetap saja kita beli karena butuh," jelas Prasetyantoko.
Ryan Kiryanto juga sependapat Prasetyantoko. Ia tidak
mengkhawatirkan adanya potensi perang mata uang dengan membaiknya mata
uang Asia dan melemahnya dolar Amerika. Sebab, ia menilai dolar adalah
mata yang paling kuat dan sudah menjadi alat pembayaran yang likuid di
pasar keuangan global.
"Tetap saja mata uang dolar AS akan menjadi primadona, karena sudah
jadi alat pembayaran internasional. Penerimaan hasil ekspor juga dalam
dolar AS. Jadi, tidak masalah bagi perekonomian RI kalau terjadi currency war."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon untuk komentar menggunakan kata yang sopan, tidak mendiskreditkan seseorang atau mengandung unsur SARA.
Apabila Admin menganggap bahwa komentar dianggap tidak etis untuk ditampilkan maka akan dihapus.
Terima kasih