Jumat, 20 September 2013

AS Batal Pangkas Stimulus Moneter, Rupiah Mulai Sehat

SUMBER : VIVA.co.id

VIVAnews - Federal Reserve membuat keputusan mengejutkan di pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 17-18 September 2013. Bank sentral Amerika Serikat itu batal memangkas program stimulus moneternya.

Dalam pertemuan itu, Gubernur The Fed, Ben Bernanke, memutuskan untuk tetap melanjutkan pembelian surat berharga sebesar US$85 miliar per bulan. Padahal, sejumlah analis berharap bank sentral dapat mengurangi program stimulus moneter hanya sekitar US$10-20 miliar untuk pembelian surat berharga, dan jangan terlalu drastis.

Seperti diketahui, ketidakjelasan rencana bank sentral AS terhadap pengurangan atau pelambatan pelonggaran moneternya dalam beberapa bulan terakhir telah mengakibatkan keluarnya aliran dana dari negara-negara emerging markets. Di antara negara-negara tersebut India dan Indonesia merupakan negara yang mengalami kejatuhan kurs terdalam.

Kurs rupiah bahkan sempat jatuh menembus level Rp12.000/US$. Kini setelah bank sentral AS tetap melonggarkan moneternya dengan menginjeksi US$85 miliar dolar ke pasar maka kekahawatiran pelaku pasar pupus sudah.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan Indeks Harga Saham Gabungan
langsung menguat pada Kamis, 19 September 2012.  Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, saat dibuka pagi hari, IHSG langsung menguat 113,31 poin atau 2,53 persen ke level 4.576,57.

Pada penutupan transaksi, IHSG terangkat hingga 207,47 poin atau 4,64 persen ke level 4.670,73. Indeks sempat menembus level tertinggi 4.791,76 dan terendah di posisi 4.576,57. Sementara Sementara itu, nilai tukar rupiah menguat tajam 469 poin (4,14 persen) menjadi Rp10.855 per dolar AS.
Menteri Keuangan, M Chatib Basri, menegaskan, meskipun, ada angin segar yang berhembus dari bank sentral Amerika Serikat yang menunda pengurangan stimulus moneternya. pemerintah tetap mewaspadai tekanan ekonomi global.

Saat ditemui di Nusa Dua, Bali, Kamis 19 September 2013, Chatib menyambut baik keputusan penundaan pengurangan stimulus tersebut. Keputusan tersebut disambut positif pasar keuangan global, termasuk di Indonesia. "Saham naik tinggi sekali, lebih dari 200 poin. Yield SUN itu sekarang sudah di bawah 8 persen. Ini memang pertanda baik sekali, artinya tekanan terhadap nilai tukar mereda," ujarnya.

Di bursa saham,  volume perdagangan mencapai 19,8 juta lot senilai Rp12,2 triliun dengan frekuensi 287 ribu kali. Sebanyak 270 saham menguat, 60 melemah, dan 70 saham stagnan. Seluruh indeks saham sektoral menguat dengan kenaikan tertinggi di bidang properti, yang naik 9,18 persen. Disusul indeks saham sektor keuangan yang menguat 6,31 persen dan industri dasar 5,5 persen.

Analis PT Panin Sekuritas Tbk, Purwoko Sartono, mengatakan, IHSG naik signifikan didorong oleh keputusan yang mengejutkan dari The Fed. Bank sentral AS itu batal mengurangi stimulus yang sebelumnya diperkirakan mencapai US$10-20 miliar.  "The Fed masih menunggu sinyal yang memastikan perbaikan ekonomi saat ini tidak hanya sementara," kata Purwoko.

Menurut Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk, Ryan Kiryanto, jika ekonomi AS membaik, hal tersebut membantu kinerja ekspor Indonesia dan ujungnya akan memperkuat cadangan devisa serta likuiditas dolar di Indonesia. 

"Jadi, sebenarnya tapering off quantitative easing tidak akan membuat ekonomi RI bermasalah, karena penyebab ekonomi kita melemah adalah DTB (defisit transaksi berjalan) dan inflasi tinggi. Tentunya, jika DTB dipersempit dan inflasi menurun, ada peluang rupiah menguat karena persepsi pasar membaik terhadap outlook ekonomi RI," tegas Ryan.

Hal senada dikatakan Direktur Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat.  Langkah The Fed akan membawa dampak positif bagi ekonomi negara berkembang di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Sebab, eksodus modal dari negara dengan pasar yang sedang berkembang itu bakal berkurang.  "Ini bagus, capital outflow di emerging market bisa mulai mereda."

Sentimen positif pasar, lanjut Budi, akan membuat pergerakan saham di Indonesia kembali stabil. Dalam jangka panjang, kekhawatiran dan ekspektasi negatif diharapkan tidak lagi menghantui pasar keuangan Indonesia.

"Kekhawatiran memang sedikit berkurang. Pagi tadi, indeks saham kita naik luar biasa. Investor yang mau beli saham di bursa Indonesia juga mulai terlihat," kata dia.

Namun, menurutnya, untuk nilai tukar rupiah masih mendapat sedikit tantangan untuk bisa kembali stabil. Kondisi ini disebabkan neraca perdagangan Indonesia masih terus mengalami defisit, karena kinerja ekspor tak mampu mengimbangi tingginya impor, terutama di sektor migas. Ditambah lagi, subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang besar turut membebani keuangan negara.

"Memang ada apresiasi, sekarang saja rupiah juga sudah lebih menguat kok. Selanjutnya, tinggal soal besarnya subsidi BBM, ini jadi tantangan tersendiri bagi rupiah," kata Budi.

Perang Mata Uang

Di pasar uang global, keputusan Federal Reserve membatalkan pemotongan program stimulus moneternya ternyata menimbulkan "masalah"  lain.

Keputusan tersebut dikhawatirkan dapat menghidupkan kembali wacana perang mata uang global. Tercatat, mata uang dolar Australia, euro, dan pound sterling Inggris menguat, setelah munculnya keputusan The Fed itu. Sementara itu, dolar AS tertekan. 

Beberapa analis mengatakan bahwa keputusan Federal Reserve bisa mendorong bank sentral negara lain untuk mendevaluasi mata uang mereka dalam upaya mempertahankan keunggulan kompetitif.

"Kami berada di ambang perang mata uang, terutama jika Fed tidak menerapkan kebijakan pengurangan stimulus pada Oktober atau Desember mendatang," kata Boris Schlossberg, Managing Director BK Asset Management, seperti dikutip dari laman CNBC, Kamis 19 September 2013.

Perang mata uang bisa terjadi jika sejumlah negara dengan kekuatan ekonomi besar bersaing untuk mendevaluasi mata uang mereka. Upaya ini diharapkan dapat mendorong ekspor dan menjadikan impor lebih mahal. 

Negara-negara G10, menurut Schlossberg, harus bereaksi atas keputusan The Fed itu. Salah satu upaya yang dapat mereka lakukan adalah mengeluarkan kebijakan yang lebih akomodatif guna meredam gejolak mata uang global.

Spekulasi atas terjadinya perang mata uang global pertama kali muncul pada awal tahun ini. Saat itu, secara dramatis, mata uang yen jatuh.

Pelemahan tajam yen itu kemudian dikritik negara-negara dengan ekonomi kuat lainnya. Sebab, pelemahan yen dikhawatirkan akan menempatkan eksportir Jepang dengan marjin keuntungan yang cukup besar. 

Namun, keputusan The Fed pada Kamis telah menghidupkan kembali pembicaraan tentang perang mata uang itu. Kondisi itu terlihat dengan kejatuhan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama lainnya, dan mencatat level terendah sejak Februari pada Rabu.

Nilai tukar dolar Australia tercatat menguat dan dihargai US$0,95 di Asia pada Kamis, atau tertinggi sejak pertengahan Juni. Poundsterling juga melonjak. Mata uang Inggris ini dihargai senilai US$1,61. Level ini merupakan yang tertinggi sejak Januari. Selanjutnya, euro mencapai level tertinggi sejak Februari, saat mata uang zona Eropa itu dihargai US$1,35.

Evan Lucas, ahli strategi pasar di IG, mengatakan bahwa akibat keputusan The Fed itu, bank sentral Australia diperkirakan kembali menurunkan suku bunga pada akhir tahun. "Pertanyaan serupa juga akan ditujukan bagi bank sentral Jepang," kata dia. 

"Pelemahan dolar AS akan berdampak pada wacana perlunya stimulus untuk yen dan ekonomi Jepang. Akankah bank sentral Jepang harus melakukan intervensi lagi," tambahnya.

Setelah kebijakan The Fed itu, yen menguat menjadi 97,75 per dolar AS. Namun, kemudian melemah kembali ke kisaran 98,10 per dolar pada perdagangan di Asia pada Kamis pagi.

Bagaimana dampak perang tersebut, sekiranya benar terjadi, ke pasar uang Indonesia?

Chief Economist Strategy & Performance Management Division PT Bank Tabungan Negara Tbk, A. Prasetyantoko menilai rupiah tidak akan terpengaruh dengan adanya ancaman perang mata uang.

Sebab, meskipun nilai ekspor Indonesia menurun saat rupiah menguat, tetapi penguatannya sekarang ini masih terbilang melemah karena bercokol di atas Rp11.000 per dolar AS. "Jadi, tidak perlu khawatir, rupiah tidak mungkin ikut-ikutan perang mata uang," kata dia.

Seandainya Jepang misalnya memilih kembali mendevaluasi mata uang yen untuk menguatkan ekspornya, Indonesia tidak akan banyak terpengaruh. Sebab, konsumen kita itu itu masuk kategori pengguna produk-produk kebutuhan primer (pokok), bukan manufacturing product. "Jadi, seberapa mahal barang, tetap saja kita beli karena butuh," jelas Prasetyantoko.

Ryan Kiryanto juga sependapat Prasetyantoko. Ia tidak mengkhawatirkan adanya potensi perang mata uang dengan membaiknya mata uang Asia dan melemahnya dolar Amerika. Sebab, ia menilai dolar adalah mata yang paling kuat dan sudah menjadi alat pembayaran yang likuid di pasar keuangan global.

"Tetap saja mata uang dolar AS akan menjadi primadona, karena sudah jadi alat pembayaran internasional. Penerimaan hasil ekspor juga dalam dolar AS. Jadi, tidak masalah bagi perekonomian RI kalau terjadi currency war."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon untuk komentar menggunakan kata yang sopan, tidak mendiskreditkan seseorang atau mengandung unsur SARA.
Apabila Admin menganggap bahwa komentar dianggap tidak etis untuk ditampilkan maka akan dihapus.
Terima kasih